Berikut ini adalah lima hal
yang sering disalah-kaprahkan oleh masyarakat terkait Idul Fitri.
1) Kalimat
“Minal Aidin Wal Faidzin“.
Kalimat khas Idul Fitri ini seringkali diikutkan setelah ucapan selamat lebaran
yang bisa diramu ke dalam diksi-diksi yang lebih menarik. Namun, masih banyak
di antara kita yang mengartikannya sebagai arti dari kata “Mohon Maaf Lahir dan
Batin” yang seringkali pula menjadi kalimat pelanjutnya. Padahal, ulama dan
ahli bahasa Arab sudah menjelaskan berkali-kali melalui media bahwa kalimat Minal Aidin Wal Faidzin berarti ““Termasuk dari orang-orang yang kembali
(dari perjuangan ramadhan) sebagai orang yang menang”. Ulama
menjelaskan, lebih tepat jika mengungkapkan Taqobbalallahu
Minna wa Minkum sebagai wujud permohonan maaf dan rasa terima
kasih. Kalimat ini pun diungkapkan tidak hanya pada momen lebaran, tapi setiap
waktu.
2) Silaturahim
bukan Silaturahmi. Kaum
ulama menyarankan kita membiasa-gunakan kata “Silaturahim” yang dimaksudkan
menyambung rasa kasih sayang dan saling pengertian, termasuk dalam momen Idul
Fitri. Sedangkan, kata “Silaturahmi” sejatinya terdiri dari dua penggal kata, “silah” yang artinya menyambungkan dan “rahmi” yang artinya rasa nyeri yang dirasakan ibu saat
melahirkan. Maka jelas saja, silaturahmi berarti menyambungkan
rasa nyeri yang dirasakan ibu saat melahirkan. Kurang sesuai konteks dan
logika.**
3) Perbedaan
hari raya dianggap saling seberang antara pemerintah dan ormas Muhammadiyah.
Hal satu ini juga seringkali disalahkaprahkan. Sebagian masyarakat, kadang
berkomentar bahwa keterlambatan pelaksanaan hari raya sebagaimana sering
ditetapkan pemerintah melawan pendapat ormas Muhammadiyah yang memutuskan hari
idul Fitri jatuh pada hari sebelumnya, merupakan bentuk seberang pemahaman.
Padahal, dalam sidang isbat (penentuan jatuh-tepatnya hari lebaran) sendiri
dihadiri oleh semua tokoh yang berkepentingan dan berkompeten, termasuk semua
ormas Islam terbesar. Jadi, sejatinya meski penetapan hari raya berbeda,
sejatinya dalam dewan isbat sudah terjadi kesepahaman dan kesepakatan untuk
saling mengerti dan menerima pemahaman masing-masing. Tentunya didukung
perhitungan-perhitungan ilmiah berdasarkan tuntunan Agama. Tidak main-main,
bukan?
4) Shalat
ied dilaksanakan terlalu pagi. Di Indonesia shalat ied dilakukan pada pagi hari
saat matahari terbit. Sebagian masyarakat kita mungkin menyangka bahwa shalat
ied harus dilaksanan sepagi mungkin. Padahal sejatinya tidak demikian. Jika
salat ied dilaksanakan terlalu pagi, anggaplah pukul 6.30, akan ada banyak
sekali jamaah yang terlambat bahkan tidak sempat mengikuti proses jamaah secara
penuh, karena mereka datang dari tempat yang jauh. Pelaksanaan idul fitri
bisa agak diakhirkan sesuai petunjuk dan anjuran syariat dengan hikmahnya yang
agung. Menurut mayoritas ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali, waktu
shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari
bergeser ke barat). Jika diklasifikasikan khusus Indonesia dan seluruh wilayah
zona waktu yang serupa, waktu terbaik salat ied dimulai adalah antara pukul
07.00 hingga pukul 8.30.***
5) Salat
ied di masjid atau di lapangan. Dua hal ini masih sering dilasah-kaprahkan
dengan menentukan satu dan yang lainnya lebih utama. Berdasarkan beberapa
hadist yang ditegaskan melalui pendapat-pendapat ulama, salat ied lebih utama
dilaksanakan di masjid, jika masjid mampu menampung seluruh jamaah yang
jumlahnya jauh melebihi jamaah salat biasa. Baru jika masjid dianggap tidak
muat dan mengandung risiko, maka salat ied di lapangan akan jauh lebih afdol
karena menjamin kekhusukan ribuan jamaah. Untuk masjid-masjid berukuran besar,
jamaah dianjurkan melaksanakan salat ied di dalamnya. Namun jika di suatu
kampung tidak ada masjid luas yang bisa menampung jamaah, maka akan lebih utama
salat ied dilaksanakan di lapangan. Hal ini juga guna mengantisipasi
risiko-risiko potensial seperti penyediaan sarana tanggap darurat, pengaturan
tata suara, pengaturan saf, dan keterlihatan imam dan khatib oleh jamaah.
0 komentar:
Posting Komentar