SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU
FALAK DI INDONESIA
Abstrak
Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di
Indonesia.Perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem
penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan
Agung. Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara.
Menggambarkan bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan terutama astronomi. Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu
Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan
Kamariah, dan gerhana untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di
Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita
yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20
metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori
lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai
ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab
Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang
ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.
Pendahuluan
Dalam makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang sejarah
perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari buku-buku ilmu Falak
yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan praktisi ilmu Falak sampai
sekarang belum banyak yang mengulasnya secara memadai. Namun akan berusaha
diungkapkan poin-poin penting dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia.
Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu
penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara.
Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya. Hal ini untuk
memetakan jaringan ulama Falak Nusantara.
Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan
dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan ulama
di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut. Dalam
pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang menjadi
tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara momentum-momentum itu yang penulis
anggap signifikan untuk diungkap antara lain:
1.Perubahan arah kiblat masjid keraton
Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan,
2.KH Turaichan Adjhuri yang berbeda
dalam penetapan awal bulan Kamariah dengan pemerintah dan menyerukan untuk
menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal
tersebut,
3.Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara
akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun
1995,
4.Yang paling belakangan adalah
peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009 lalu; Hasil Penelitian lembaga
Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di
Jogjakarta yang melenceng.
5. Dan Majalah Qiblati yang
menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu
dari yang seharusnya.
Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu
Falak Indonesia.
Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia
Pembahasan tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena
bahasan utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah
kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana. Sebagai bagian dari kegiatan
ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya
agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang sejarah perkembangan awal ilmu
Falak di Indonesia secara keilmuan masih belum diungkap secara memadai.
Pembicaraan tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam
buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa
perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan
hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Pada
tahun1625 Masehi, Sultan
Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa
dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan
dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi
Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar.
Penanggalan Islam; penanggalan hijriah
ini diasumsikam secara umum digunakan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
sejak zaman meeka berdaulat penuh. Penanggalan ini digunakan sebagai
penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut. Namun setelah datangnya
penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan
tersebut dengan penanggalan masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan
untuk administrasi pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).
Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara
Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449
M) dengan tabel Zeij Sulthaninya
Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah
misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab
yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi.
Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan
dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.
Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang
dirumuskan oleh Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij
Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat
berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para
astronom di Barat selama berabad-abad lamanya.
Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa
Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya).
Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak
atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya tdak mudah untuk menentang
doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat
dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan
inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai
ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20.
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada
awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para
ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah
berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang
di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran
yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu
kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang
ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut
kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29).
Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang
baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman
ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke
Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih
mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada
para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan
as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn
‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi.
Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas
(Pacitan) dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi
Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada
1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap
mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi
ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M. Buku ini di samping
memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa
(Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan
oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad
Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang
menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada
1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada
priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal
dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai
sekarang.
Sementara tokoh Falak yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir
Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati
Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M,
danNatijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction
of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya
Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi
ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari, 2007: 10). Tokoh Falak Nusantara
yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).
2. Pengaruh Mathla’
as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij
al-Hamidiyah.
Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya pengaruh
kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan
Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd
al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa oleh
mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri untuk belajar di
tanah suci. Menurut M. Taufik bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis
oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan
cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama
Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya
Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M,
buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan
Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id
al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki,
dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w
1351H/1933M) (Murtadho, 2008: 29).
Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain
menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd
al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan
utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah
mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib
‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang
merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru
mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya
Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara
yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud
Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber
Abdul Abdul Karim Gresik.
3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan
Astronomi
Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas
dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia lahir di Bukittinggi pada
tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal 22 November
1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta ahli hisab dan
rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367
H) dari Minangkabau
Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar
ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah
Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas
dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang penanggalan.
Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu
Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah
ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di
Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H .
Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas
yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H
menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu
Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak
menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal
Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan
oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah
(diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3)Perbandingan
Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4)
Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang
pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan
oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan
Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H)
Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan
pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal
bulan Kamariah, Ia lah yang
meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab yang berdasarkan
pada ilmu astronomi di Indonesia.
Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat
geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran
koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah
adalah lintang (Φ) 21° 25’ LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.
Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh
muridnya. Di antara muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul
Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan
dan Gerhana Matahari system Newcomb.
Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada
priode ini antara lain: Taufik. Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi
2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win
Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37).
Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah
tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya software-software
Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit
oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqitt
versi 2002 oleh Khafid, program falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program
Astinfo oleh jurusan Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah
al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin
pada tahun 2004 (Khazin, 2008: 37).
Klasifikasi Metode Falak
Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu
Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan
Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi
penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada
dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada
peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī, kitab yang tingkat akurasi
penghitungannya rendah. Kedua, hisabҢaqīqī bi at-Tahqīqī,
kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki
kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi.
Dalam sistem hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari
peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap,
umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga
puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan
demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur
tiga puluh hari (Anwar, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8)
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan
dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi
didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29
hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu
dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan
lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada
pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan
kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan
baru/ new month (Fathurohman 2006).
Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48
menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari)
dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa
satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita
sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30
hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang
berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah
(bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan
tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah
hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan
dengan satu daur . Sistem hisab ini tak
ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap
bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahunKabisah tertentu
jumlahnya lebih panjang satu hari.
Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader:
136-137 ) penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik:
1. awal tahun pertama Hijriah (1
Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2. satu periode (daur)
membutuhkan waktu 30 tahun;
3. dalam satu periode/ 30 tahun
terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk
menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan
syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانهTiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang
tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat
terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[3];
4. penambahan satu hari pada
tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;
5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan
bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/
Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);
6. panjang periode 30 tahun
adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode
sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204
hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).
7. perhitungan berdasarkan hisab
Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar sebelum melakukan
perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab
Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para
ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.
Sistem kalender Islam; kalender
Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang
berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab
yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita
akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang
berdasarkan hisab Hakiki:
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah
konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal
setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh
sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua
puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada
peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut
(Azhari, 2004, 30-31)
Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam
sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil)
selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak
selalu seperti itu .
2. Permulaan Hari
Dalam kalender hijriah, sebuah
hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal
bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib
setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2
ayat 189
Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang
baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari
yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau
permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi
bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan
patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar).
Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam
penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya
Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).
3. New Month (Bulan Baru)
Dalam penentuan telah masuknya bulan
baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di
antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya
ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika
ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari
terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak
mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat
Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari
terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99). Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk.
Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak
mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada
saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal
saat sunsetmenyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk
itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari
itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007:
109).
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan
dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub
asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal
bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih
mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal
dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan.
Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan
memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya
awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari
dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk.
Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa
patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam
Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas
ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
4. Hilal
Hilal (bulan
sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu
waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan
dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan
dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan
bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan
kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan
(konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan
hariannya.
Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal
terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud
di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah
memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian
kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang
baru.
Berdasarkan klasifikasi metode Hisab
dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di
Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam
an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri
dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah
tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini
basis data yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w.
1449 M) dan dalam pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya
Ptolomeus. Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil
perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai
pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan
kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui
di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan.
Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara
lain kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair
Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur
al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad
Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya
Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K
Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd
al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya
Ma’shum Jombang.
Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain:
metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama,
al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode hisab Hakiki
Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu
Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang
banyak dan menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal.
Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan
Kamariah di Indonesia
Departemen Agama Republik Indonesia
didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag, persoalan yang
terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini
berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan
Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari,
1999: 14).
Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan awal bulan
Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi
dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari, 1999: 15). Persoalan
inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga Hisab dan Rukyat.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76
tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Adapun
diktumnya sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Hisab dan
Rukyat Departemen Agama.
2. Tugas Badan Hisab dan
Rukyat yang termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran
kepada Mentri Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah.
3. Kepengurusan dari Badan Hisab
dan Rukyat tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris,
anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members).
4. Anggota-anggota tetap tersebut
merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah sehari-hari, sedangkan
anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu tertentu menurut keperluan.
5. Anggota-anggota tersebar
diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam.
6. Badan Hisab dan
Rukyat tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada
Direktur Peradilan Agama.
7. Kepada ketua, wakil ketua,
sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang
berlaku.
8. Segala pengeluaran dan
biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut dibebankan kepada
anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk
tahun-tahun berikutnya mata anggaran yang selaras untuk itu.
9. Keputusan ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan
susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai
berikut:
Sa’adoeddin Djambek, Jakarta sebagai
ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA, Jakarta sebagai wakil ketua merangkap
anggota, dan Drs Djabir Manshur, Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota.
Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs
Santoso, Jakarta, Rodi Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji,
Jakarta, Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta.
Adapun anggota tersebar diserahkan
penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan
surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan
susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut:
KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH
Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim
Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z
Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat Bandung/ITB, Ir
Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust Ali Ghozali Cianjur,
Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.
Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam
menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama awal Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud.
Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik
menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang
menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan
tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical
guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis.
Kehadiran Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan
rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam
perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan lebih
bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan Rukyat
mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.
Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang
dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen
Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa
menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka
usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagalan.
Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia
Ada beberapa momen penting bagi kajian
ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen ini dianggap memiliki peranan yang
signifikan dalam mengaktualkan kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah:
KH
Ahmad Dahlan
1. Perubahan arah kiblat masjid
keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan.
Nama kecil KH Ahmad Dahlan
adalahMuhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285
H.
Ia adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman,
seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah
anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari
tujuh bersaudara .
Ia lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315
H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat
lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu
bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat mengoreksi kekeliruan. Pada
saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak
tepat menuju arah kiblat .
Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari
melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh
Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan dicatat
sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan masjid di
Nusantara.
Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan
tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia
mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia
kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru.
KH
Turaichan Adjhuri
2. KH Turaichan Adjhuri yang
menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut.
Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya
untuk belajar, mengaji danmuthola’ah Kitab. Ia belajar Falak secara
atodidak. Tapi ketika menemui kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul
Djalil (gurunya)
Mbah Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari
penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan almanak
yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan dan
dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan sampai ke
penjuru tanah air, Perhitungan itu umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama.
Penyusunan Kalender Menara Kudus saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa .
Turaikhan disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi
stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan waktu Idul
Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan masyarakat yang
menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan pemerintah. Ia juga
menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar masyarakat bersembunyi di
rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada tahun 1983 dengan menganjurkan
umat melihat dan mendirikan salat gerhana.
Kisah Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan
kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang
terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab
heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam
Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus
Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah
penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitabal-Mathla’ as-Sa’id dari
Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya
Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak,
oleh pemerintah ia diangkat sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag
RI.
3.Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara
Akademik
Secara akademik, ilmu Falak pernah
eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu Falak keluar dari Kurikulum
Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi
penting untuk menjadi salah satu ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI
terutama fakultas Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi
di sisi lain pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan
munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah diharapkan
muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab rukyat yang
komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut Agama Islam Negeri
(IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah untuk melihat kontribusi
Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi pemisahan antara ilmu umum dan
ilmu agama akan dapat dieliminir (Azhari, 1990: 20).
Kini telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di
Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada tahun
2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru setingkat
konsentrasi dibuka pada tahun 2008.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak
dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya interaksi
yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak terutama
masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, adalah perkembangan
yang positif. Hal yang akan menggairahkan perkembangan ilmu falak pada
masa-masa yang akan datang.
4.Hasil Penelitian lembaga Rukyatul
Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang
melenceng.
Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah
tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazettemelaporkan,
orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang baru di
Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak mengarah langsung ke
Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat mungkin menghadap ke
Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan kompas khusus untuk mencari
arah kiblat itu
Wartawan BBC, Sebastian Usher,
mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan pembangunan kembali kawasan di
dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di Mekah tetap
dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang
baru, sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak
tepat arah kiblatnya.
Jika memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di
Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus
Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 %
masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat . Masalah yang penting
selanjutnya setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di
sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung.
Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini
secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Penyempurnaan arah kiblat
bukan berarti adanya perubahan arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak
berubah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan
musala di sekitar kita.
Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan,
menyampaikan hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik
agar tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang
terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang
sebenarnya
5. Majalah Qiblati yang
menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu
dari yang seharusnya.
Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh:
Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4,
“Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”
dalamMajalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu Subuh
Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10
Volume 4 tulisan Mamduh Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam
Indonesia khususnya. Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita
gunakan selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua
puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan selama
ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang seharusnya
(Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq,
“Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah
Kuno” dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para
Ulama”,
Setelah penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal
waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh umat
Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang, mereka mulai
mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh yang mereka gunakan
selama ini.
Mereka membahasnya lewat forum-forum
diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan juga di internet. Begitu banyak
tanggapan yang muncul tentang hal ini. Tanggapan yang sebagiannya alih-alih
memberikan pencerahan terhadap masyarakat malah justru membuat mereka bertambah
bingung.
Dalam menyikapi hal ini umatpun
terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid mengambil jalan tengah menurut mereka
sendiri. Menurut mereka azan tetap dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada
(jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh
dimundurkan waktunya dari biasanya.
Yang lain malah melangkah lebih jauh
lagi. Mereka mengundurkan waktu pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal
waktu Subuh. Sehingga tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam
pengumandangan azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di
saat masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah.
Namun mayoritas mereka masih
menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Mereka tidak mau
merubah apa yang diyakini selama ini tentang penentuan awal waktu salat Subuh
sampai terwujudnya kesepatan para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen
Agama mengumumkan perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih
lanjut dan mendalam.
Catatan Akhir
Berikut ini beberapa catatan tentang
sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia:
1. Kajian
Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah
Sejarah perkembangan ilmu Falak di
Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada
awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu
pengetahuan yang berasal dari Barat.
Teori-teori lama yang sudah out
of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai
bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.
Dalam perhitungan awal bulan Kamariah
misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab
yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi.
Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan
dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.
Setelah Nicolas Copernicus menemukan
teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya kita (bukan Bumi
sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh
terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan.
Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira
pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’
as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid
al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid
Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut oleh mereka yang
menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci.
Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi.
Perkembangan ilmu Falak di Indonesia
tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang
terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode
hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang
telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan
orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi
tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini. Misalnya
menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan
bahwa Perhitungan kitabSullam an-Nayyirain ini termasuk hakiki
taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil perhitungannya berbeda
dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi eksistensinya masih diakui oleh
Departemen Agama. Karena hasil perhitungannya masih digunakan sebagai
pertimbangan sidang penetapan awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk
memahami permasalahan ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan
pendapat lebih mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan
awal bulan Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam
an-Nayyirainini[4].
Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah
hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.
2. Prolematika
Pengklasifikasian Metode Hisab
Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola
pemikiran (paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam
pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan:
a. Nama aliran yang
digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain urfi, hisab hakiki,
hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi.
b. Masalah lain yang timbul
dari pengklasifikasian tersebut adalah perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya
timbul penilaian yang beragam terhadap masing-masing aliran, ( misalnya tingkat
keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag
menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki
diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan tingkat
akurasinya rendah, 2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya
sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi.
Perlu juga kiranya permasalahan ini
didekati dengan pendekatan historical knowledge (latar
belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam kerangka
memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan ilmu
Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya sesuai dengan
perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab persoalan umat pada masanya.
Bukan secara serta menyatakan penyejajaran ataupun hanya melihat
ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer.