Ma'had ponpes TBS

Pondok Pesantren "Tasywiquth Thullab" (TBS)Kudus.

Masyakhina

K.H Ma'mun Ahmad Bersama K.H Ahmad Basyir .

Kebersamaan santri

Satu sama lain saling sama.

KEGIATAN PARA SANTRI

Kegiatan dalam salah satu acara yang diadakan ponpes TBS kudus.

Pondok Pesantren TBS (putri)

Lokasi pembangunan pondok pesantren TBS (putri).

Kamis, 01 Mei 2014

Biografi Al Hafizh Adz Dzahabi

Biografi Al Hafizh Adz Dzahabi


Sungguh aneh sikap mayoritas umat muslim masa kini, mereka lebih merasa tertarik kepada tokoh-tokoh nonmuslim, menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai panutan, contoh, dan suri teladan. Setiap kali mereka ingin memberikan permisalan atau contoh kesuksesan seseorang, mereka pasti mengangkat dan menggunakan nama nonmuslim. Bila mereka ingin menggambarkan kecerdasan maka yang terlintas di otak dan pikiran mereka adalah kecerdasan Albert Einstein. Bila mereka ingin memncontohkan tentang semangat yang tak kenal putus asa, maka mereka mempermisalkan kegigihan seorang Thomas Alva Edison. Dan masih banyak contoh lain yang sangat sering kita lihat dan kita dengar di kehidupan kita sehari-hari.
Timbul sebuah pertanyaan besar, apakah tidak ada seorang tokoh muslim pun yang sehebat tokoh-tokoh nonmuslim tersebut, sampai-sampai kaum muslimin mengangkat nama mereka bila ingin memberikan semangat dan motivasi.
Mungkin ini menjadi sebab umat muslim menjadi lemah, karena hidup di bawah jajahan dan naungan pemikiran non muslim. Bergaya hidup dan berpola pikir seperti mereka kaum non muslim. Secara tidak lansung baik kita sadari ataupun tidak kita bagaikan boneka yang di kendalikan oleh umat non muslim.
Sebagai solusi dari kenyataan ini, umat Islam harus memiliki jati diri sebagai seorang muslim, mereka harus mengenal Nabi mereka, para sahabatnya, dan tokoh-tokoh besar lainnya yang berpengaruh dalam kejayaan Islam, yang dengan mengenal sejarah mereka, kita dapat termotivasi dengan meyebutkan kisah hidup serta keberhasilan yang telah mereka gapai.
Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan biografi seorang imam besar yang kebesarannya tercatat dalam tinta sejarah peradaban Islam, beliau adalah Al-Imam al-Hafizh Adz-Dhahabiy.

Biografi Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi

Beliau adalah: al-Imam al-Hafizh, ahli sejarah Islam, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Adz-Dzahabi.
Adz-Dzahabi berasal dari kata adz-dzahab yang berarti emas. Nama ini beliau dapatkan dikarenakan ayahnya adalah seorang pengrajin emas, dan beliau pun pernah berprofesi sebagai pengrajin emas. Yang pada akhirnya nama inilah yang lebih dikenal hingga sekarang daripada nama asli beliau, dan beliau memang pantas untuk digelari sebagai “emas” karena ilmu dan jasa beliau selama hidupnya.

Kota Kelahiran dan Masa Perkembangan Adz-Dzahabi

Beliau dilahirkan pada Rabiul Akhir 673 H/1274 M di sebuah desa bernama Kafarbatna di dataran padang hijau Damaskus, di tengah sebuah keluarga yang berasal dari Turkmenistan, yang ikut secara kewalian kepada kabilah Bani Tamim, dan mereka menetap di kota Mayyafarqin dari daerah Bani Bakar yang paling terkenal.
Adz-Dzahabi tumbuh di tengah keluarga yang cinta ilmu dan agama. Ayah beliau bernama Ahmad bin ‘Ustman. Dia adalah orang yang baik, bertakwa, dan cinta ilmu. Ayahnya pernah mempelajari kitab Shahih Bukhari pada tahun 666 H dari seorang guru, Miqdad bin Hibbatillah Al-Qoysi. Keluarganya memberikan perhatian yang besar kepada beliau dengan mengirimnya kepada para syaikh (guru besar) yang terkenal di kota Damaskus. Adz-Dzahabi telah berhasil mendapat ijazah (rekomendasi) dari mereka semenajk masih kecil, ketika ia beliau belum genap delapan belas tahun. Perhatiannya terhadap ilmu sangat tinggi.
Perhatiannya bermula dari ilmu qiraah dan hadis. Hal ini ditunjang dengan kepiawaian dan kecerdasaannya dalam berdiskusi dan memahami ilmu, serta kemampuannya yang luar biasa untuk mengingat dan menghafal, dan cita-citanya yang tinggi untuk bertemu para ulama dan berpetualang dalam menuntut ilmu.
Adz-Dzahabi telah mencurahkan kesungguhan dalam menekuni kedua disiplin ilmu itu secara langsung dari guru besar negeri Syam yang paling masyhur pada masa itu. Beliau juga berpetualang ke Mesir, Mekah, Madinah, dan beberapa kota lain untuk tujuan yang mulia ini, hingga ilmunya menjadi rujukan (referensi) kaum muslimin. Nama beliau pun mulai bergaung di dunia Islam, dan para penuntut ilmu berdatangan dari segala penjuru. Beliau pun menjadi seorang imam dalam ilmu qiraah, penghafal hadis yang ulung, salah seorang ulama yang unggul dalam kritik hadis, dan ternama di dalam al-Jarh wa at-Ta’dil.

Aktivitas Keilmuan dan Kedudukan Adz-Dzahabi

Adz-Dzahabi sempat menduduki sejumlah jabatan keilmuan di kota Damaskus, di antaranya: sebagai khatib, pengajar, dan menjadi guru besar di sejumlah perguruan dalam bidang hadis, seperti Dar al-Hadis di Turbah Umm ash-Shalih, Dar al-Hadis azh-Zhahiriyah, Dar al-Hadis wa al-Qur’an at-Tankiziyah, dan Dar al-Hadis al-aFadhiliyah.
Kesibukan padat yang beliau jalani tidaklah menjadikan beliau terhalang untuk melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah. Bahkan beliau telah meninggalkan kekayaan ilmiah yang besar dan penuh berkah, di mana kitab-kitab dan karya tulis beliau mencapai lebih dari 200 karya dalam berbagai disiplin ilmu: qiraat, hadis, mushthalah hadis, sejarah, biografi, akidah, ushul fiqh, dan raqa’iq (ilmu beretika).
Di antara karya ilmiah beliau adalah:
  • Tarikh al-Islam
  • Siyar A’lam an-Nubala
  • Mizan al-I’tidal
  • Al-Ibar fi Khabar man Ghabar
  • Al-Mughni fi adh-Dhu’afa
  • Al-Kasyif
  • Tadzkirah al-Huffazh
dan masih banyak karya yang tidak tercatat dalam tulisan singkat ini.

Pujian Para Ulama Terhadap Adz-Dzahabi

Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Aku pernah minum air Zamzam agar aku mencapai derajat Imam adz-Dzahabi dalam menghafal”.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang Adz-Dzahabi, “Keberadaan beliau telah merepresentasikan para syaikh pakar dalam penghafal hadis…”
Murid beliau, Tajuddin as-Subki dalam Syadzarat adz-Dzahab berkata, “Guru kami, Abu Abdullah adalah seorang ulama hebat yang tidak ada bandingnya. Beliau adalah gudang perbendaharaan ilmu, tempat kembali ketika terjadi permasalahan yang rumit, imam semua orang dalam hal hafalan, beliau ibarat emasnya zaman secara maknawi dan literel, guru besar al-Jarh wa at-Ta’dil, pemuka para tokoh pada setiap jalan; seakan-akan umat telah dikumpulkan pada padang yang satu lalu beliau melihatnya mulai memberitakan dari para rawi sebuah riwayat sebagaimana orang-orang yang hadir memberitakan…”
As-Suyuthi dalam Dzail Tadzkirah al-Huffazh berkata, “Yang ingin saya katakan, ‘Sesungguhnya ulama-ulama hadis sekarang dalam sub disiplin kritik rawi dan disiplin-disiplin hadis lainnya membutuhkan pada empat sosok: Imam al-Mizzi, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Iraqi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar’.”

Di Antara Perkataan Al-Imam Adz-Dzahabi

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam (filsafat islam) melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi sunnah. Karena itulah ulama terdahulu mencela setiap yang belajar ilmu umat-umat sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filsuf atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para filsuf dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang meniti jalannya para rasul, maka sungguh dia telah menempuh jalan pendahulu dan menyelamatkan agama dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)
Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’(cabang permasalahan), tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu, dan pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah merahmati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Quran, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” (Tadzkirah al-Huffazh, II:530)

Wafatnya Al-Imam Adz-Dzahabi

Di akhir hidupnya Adz-Dzahabi mendapat cobaan, tujuh tahun mengalami kebutaan. Kemudian beliau wafat malam Senin 3 Dzulqa’dah 748 H/ 1348 M, dan dimakamkan di Bab ash-Shaghir di Damaskus.

Beberapa Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Biografi Al-Imam Adz-Dzahabi

1.      Peran serta orang tua terutama seorang ayah sangat berpengaruh dalam keberhasilan anaknya.
2.      Perilaku dan sikap seorang ayah menjadi modal awal bagi seorang anak dalam menentukan tujuan hidupnya. Bila ayahnya saleh dan bertakwa, maka anaknya pun akan meniti jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya. Sebagaimana ayah Adz-Dzahabi mencintai ilmu, maka imam Adz-Dzahabi pun ikut mencintai ilmu.
3.      Seorang remaja harus mempunyai tujuan dan fokus hidupnya sejak dini, agar keberhasilan yang ia cita-citankan dapat segera terwujud.
4.      Buah dari ilmu pengetahuan adalah amal dan mengajarkannya kepada orang lain.
5.      Karya tulis merupakan sarana yang terbaik dalam menyampaikan ilmu, karena dapat terus dimanfaatkan walau penulisnya telah meninggal puluhan abad yang lalu.
6.      Kekurangan fisik yang kita miliki tidak menghalangi kita untuk berhasil. Imam Adz-Dzahabi telah membuktikannya walaupun penglihatan beliau telah tiada namun beliau tetap bersemangat untuk menyampaikan ilmunya dan tetap menjadi guru besar di pergurungan tinggi hadis.
7.      Semangat untuk belajar dan mengajar harus terus berkobar mulai sejak kecil sampai berusia lanjut bahkan sampai kita meninggalkan dunia ini.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada Imam adz-Dzahabi, dan mengampuni kita semua dan beliau, serta mengumpulkan kita dengan beliau di bawah bendera Nabi kita, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.


Salah Kaprah

Berikut ini adalah lima hal yang sering disalah-kaprahkan oleh masyarakat terkait Idul Fitri.
1)    Kalimat “Minal Aidin Wal Faidzin“. Kalimat khas Idul Fitri ini seringkali diikutkan setelah ucapan selamat lebaran yang bisa diramu ke dalam diksi-diksi yang lebih menarik. Namun, masih banyak di antara kita yang mengartikannya sebagai arti dari kata “Mohon Maaf Lahir dan Batin” yang seringkali pula menjadi kalimat pelanjutnya. Padahal, ulama dan ahli bahasa Arab sudah menjelaskan berkali-kali melalui media bahwa kalimat Minal Aidin Wal Faidzin berarti “Termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perjuangan ramadhan) sebagai orang yang menang”. Ulama menjelaskan, lebih tepat jika mengungkapkan Taqobbalallahu Minna wa Minkum sebagai wujud permohonan maaf dan rasa terima kasih. Kalimat ini pun diungkapkan tidak hanya pada momen lebaran, tapi setiap waktu.
2)    Silaturahim bukan Silaturahmi. Kaum ulama menyarankan kita membiasa-gunakan kata “Silaturahim” yang dimaksudkan menyambung rasa kasih sayang dan saling pengertian, termasuk dalam momen Idul Fitri. Sedangkan, kata “Silaturahmi” sejatinya terdiri dari dua penggal kata, “silah” yang artinya menyambungkan dan “rahmi” yang artinya rasa nyeri yang dirasakan ibu saat melahirkan. Maka jelas saja, silaturahmi berarti menyambungkan rasa nyeri yang dirasakan ibu saat melahirkan. Kurang sesuai konteks dan logika.**
3)    Perbedaan hari raya dianggap saling seberang antara pemerintah dan ormas Muhammadiyah. Hal satu ini juga seringkali disalahkaprahkan. Sebagian masyarakat, kadang berkomentar bahwa keterlambatan pelaksanaan hari raya sebagaimana sering ditetapkan pemerintah melawan pendapat ormas Muhammadiyah yang memutuskan hari idul Fitri jatuh pada hari sebelumnya, merupakan bentuk seberang pemahaman. Padahal, dalam sidang isbat (penentuan jatuh-tepatnya hari lebaran) sendiri dihadiri oleh semua tokoh yang berkepentingan dan berkompeten, termasuk semua ormas Islam terbesar. Jadi, sejatinya meski penetapan hari raya berbeda, sejatinya dalam dewan isbat sudah terjadi kesepahaman dan kesepakatan untuk saling mengerti dan menerima pemahaman masing-masing. Tentunya didukung perhitungan-perhitungan ilmiah berdasarkan tuntunan Agama. Tidak main-main, bukan?
4)    Shalat ied dilaksanakan terlalu pagi. Di Indonesia shalat ied dilakukan pada pagi hari saat matahari terbit. Sebagian masyarakat kita mungkin menyangka bahwa shalat ied harus dilaksanan sepagi mungkin. Padahal sejatinya tidak demikian. Jika salat ied dilaksanakan terlalu pagi, anggaplah pukul 6.30, akan ada banyak sekali jamaah yang terlambat bahkan tidak sempat mengikuti proses jamaah secara penuh, karena mereka datang dari tempat yang jauh. Pelaksanaan idul fitri bisa agak diakhirkan sesuai petunjuk dan anjuran syariat dengan hikmahnya yang agung. Menurut mayoritas ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Jika diklasifikasikan khusus Indonesia dan seluruh wilayah zona waktu yang serupa, waktu terbaik salat ied dimulai adalah antara pukul 07.00 hingga pukul 8.30.***
5)    Salat ied di masjid atau di lapangan. Dua hal ini masih sering dilasah-kaprahkan dengan menentukan satu dan yang lainnya lebih utama. Berdasarkan beberapa hadist yang ditegaskan melalui pendapat-pendapat ulama, salat ied lebih utama dilaksanakan di masjid, jika masjid mampu menampung seluruh jamaah yang jumlahnya jauh melebihi jamaah salat biasa. Baru jika masjid dianggap tidak muat dan mengandung risiko, maka salat ied di lapangan akan jauh lebih afdol karena menjamin kekhusukan ribuan jamaah. Untuk masjid-masjid berukuran besar, jamaah dianjurkan melaksanakan salat ied di dalamnya. Namun jika di suatu kampung tidak ada masjid luas yang bisa menampung jamaah, maka akan lebih utama salat ied dilaksanakan di lapangan. Hal ini juga guna mengantisipasi risiko-risiko potensial seperti penyediaan sarana tanggap darurat, pengaturan tata suara, pengaturan saf, dan keterlihatan imam dan khatib oleh jamaah.









MIMPI DAN BERJUANG

KISAH MOTIVASIMIMPI DAN BERJUANG
Dikisahkan, pada tahun 1867, hiduplah seorang ahli teknik kelahiran Jerman bernama John Augustus Roebling. Ia bermimpi membangun sebuah jembatan yang menghubungkan Kota New York dan Long Island. Impian John tidak mendapat dukungan bahkan ditertawakan oleh banyak temannya. Mereka mengganggap proyek itu adalah ide yang paling gila dan impossible di zaman itu. Maka, John pun hanya bisa berbagi impian dengan anaknya, Washington Roebling. Washington juga seorang ahli teknik. Ayah dan anak itu berjuang bersama untuk mewujudkan impian itu.

            Ketika proyek itu baru berjalan beberapa bulan, terjadi kecelakaan yang fatal. Sayangnya, karena pertolongan yang terlambat, John Roebling tidak bisa diselamatkan. Sedangkan Washington, walaupun nyawanya selamat, tetapi mengalami cedera parah pada kepalanya yang mempengaruhi motoriknya. Washington menjadi lumpuh dan tidak mampu berbicara. Namun demikian, impaian ayahnya tentang jembatan tidak pernah padam dalam pikirannya.

            Suatu hari, saat Washington terbaring tidak berdaya di tempat tidurnya, ia melihat cahaya matahari melewati jendela kamarnya, menyilaukan dan menyakitkan mata. Segera ditutupnya kelopak matanya, dan saat itu pula, seakan Tuhan berbicara dengan pertanda, tiba-tiba muncullah sebuah kesadaran, "Hari ini aku masih bisa menikmati indahnya kilau mentari, artinya, Tuhan masih memberiku waktu untuk berbuat. Dan aku sadar, aku tidak boleh menyerah!" Dengan sekuat tenaga ia berkonsentrasi penuh dan berusaha untuk menggerakkan satu jarinya. Usaha yang dilakukan berulang-ulang dengan semangat dan konsentrasi penuh, ternyata tidak sia-sia. Dia berhasil menggerakkan jarinya! Perlahan-lahan, Washington mampu membuat kode untuk berkomunikasi dengan istrinya, Emily, melalui satu jari itu.

            Walaupun begitu perlahan pada awalnya, dengan cara seperti itulah, Washington memberi petunjuk kepada Emily untuk melanjutkan pembuatan jembatan. Semua instruksi diberikan kepada Emily dan kemudian disampaikan lebih lanjut kepada para pekerjanya yang setia membantu mewujudkan impiannya. Begitu berulang-ulang. Mereka melalui berbagai kendala yang tidak sedikit jumlahnya. Butuh waktu panjang untuk berjuang dengan semua sisa kekuatan dan ketegarannya, dan butuh waktu selama 13 tahun untuk mewujudkan impiannya. Akhirnya, pada tahun 1883, Jembatan Brooklyn (Brooklyn Bridge) berdiri megah di Kota New York, Amerika Serikat.

Teman-teman yang luar biasa,
            Cerita di atas merupakan sebuah contoh bahwa pikiran positif dan perjuangan nyata mampu memegang erat mimpi dan bisa mewujudkan apa yang sekiranya tidak mungkin menjadi mungkin!
Betapa luar biasanya kekuatan pikiran manusia! Pikiran manusia bisa membuat hidup menjadi sengsara atau bahagia, gagal atau sukses, biasa-biasa saja atau luar biasa. Kalau kita mengikuti pikiran yang negatif, maka kehidupan kita isinya akan negatif pula - hidup penuh kecemasan, pasif, ketakutan dan kekurangan. Namun jika kita mampu mengembangkan pikiran yang positif, optimis, dan senantiasa berpengharapan yang positif, serta punya komitmen tinggi dalam mewujudkan segala impiannya, maka kita akan hidup penuh gairah, syukur, gembira, sukses, dan bahagia... setiap hari. Mari kita pilih hidup dengan pola pikir yang positif. Kita pilih hidup dengan aktivitas yang positif. Dan kita pilih agar kualitas kita hidup berguna bagi kita dan bagi banyak orang...!

Rabu, 02 April 2014

MA’HAD “TASYWIQUTH THULLAB” KUDUS


SEKILAS PROFIL
MA’HAD “TASYWIQUTH THULLAB” KUDUS
Pesantren yang terletak di dukuh Balaitengahan  desa Langgardalem, kira 700  meter sebelah utara Menara Kudus, ini pasti sudah tidak asing bagi masyarakat Kudus.
Asal mula berdirinya pesantren Tasywiquth- Thullab Kudus yang beralamatkan di jalan KH. Turaichan Adjhuri no. 237 kudus – 59314, no telp. (0291) 442872, adalah ketika warga masyarakat sekitar mengaji kepada kyai Ahmad Abdul Lathif di kediaman beliau tanpa memungut biaya sama sekali kepada santri yang ngaji dengan dilandasi niat lillahi ta’ala menyebarkan ilmu agama yang dimiliki. Lama kelamaan santri yang mengaji bertambah banyak dan tidak hanya dari masyarakat sekitarnya saja, tapi ada juga yang berasal dari luar daerah. Maka kyai Ahmad Abdul Lathif berinisiatif untuk mendirikan pesantren sebagai tempat mengaji sekaligus tempat mukim para santri.
Menurut cerita yang diperoleh KH. Taufiqurrohman (pengasuh sekarang), setelah kyai Ahmad Abdul Lathif wafat, pesantren diasuh putra beliau KH. Ma’mun Ahmad. Ditangan KH. Ma’mun inilah pesantren TBS tumbuh menjadi pesantren yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Pada masa kepemimpinan KH. Ma’mun ini pula pesantren TBS dikembangkan menjadi lembaga pendidikan formal yakni madrasah Tasywiquth-Thullab Salafiyyah yang berlokasi di sebelah selatan pesantren ini. Inisiator pendirian madrasah yang kini menjadi salah satu madsrasah besar di daerah kudus ini adalah KH. Abdul Jalil, keponakan KH. Ma’mun Ahmad, yang dikenal sebagai ahli falak dan pernah menjabat katib syuriyah pengurus besar jam’iyyah Nahdlotul Ulama’, namun seiring dengan perjalanan waktu, pengelolaan pesantren TBS dan madrasah TBS ini dipisah.
Dalam mengasuh santrinya yang mayoritas siswa madrasah TBS, KH. Taufiqurrohman dibantu adiknya K. Dzi Taufiqillah. Jumlah santri yang menempati gedung yang berukuran 5 x 20 m ini berjumlah 40 orang santri putra. Selain fasilitas kamar, pesantren ini juga menyediakan perpustakaan meskipun dengan koleksi kitab yang masih terbatas. Namun untuk sekarang ini mengalami perkembangan yang signifikan, mulai dari gedung, jumlah santri, maupun fasilitas yang ada telah mengalami kemajuan. Seperti gedung yang dahulunya berukuran kecil, sekarang gedung pesantren TBS sudah berlantai tiga. Santrinyapun mengalami perkembangan, yang mulanya hanya 40 santri sekarang menjadi lima kali lipatnya. Bahkan tahun ini direncanakan mendirikan pesanten untuk kalangan santri putri.
Santri yang bertauhid dan dapat mengembangkan agama dengan berbekal kitab salaf  adalah visi misi yang hendak digapai pesantren TBS. visi ini dilatar belakangi fenomena anak muda yang kurang mumpuni dalam bidang keagamaan serta rapuh dalam iman.
Meski mayoritas santrinya merangkap sekolah di bangku pendidikan formal, pesantren ini masih eksis dengan sistem peninggalan pendirinya, yakni dengan menggunakan sistem salafiyyah dengan metode sorogan, bandongan dan mudzakaroh (membahas masalah dengan disertai argumen dan referensi  yang jelas).
Spesifikasi ilmu yang ditonjolkan adalah ilmu alat (nahwu dan shorof) tetapi selain itu diajarkan pula kitab-kitab salaf dalam berbagai disiplin ilmu yang dilaksanakan  setiap ba’da sholat maktubah. Kitab-kitab tersebut antara lain, Syarh Mukhtashor Jiddan ‘Ala Al-Jurumiyyah, Khomsatu Mutun, Fiqih Al- Wadlih, Safinah An-Naja, Sullamut Taufiq, Al-Akhlaqu Lilbanin, Ta’limul Muta’allim, Al Ushfuriyyah , Qothrul Ghoits, Tanqihul Qoul Al-Hatsis dan masih banyak lagi. Bahkan untuk sekarang ini diadakan bahtsul masail intern setiap pekannya yang bertujuan melatih santri-santri dalam berargumen dan sebagai penyingkap problematika masyarakat.
Pesantren ini banyak menelorkan alumni. Diantara mereka ada yang melanjutkan ke pesantren lain adapula yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri.

Sejarah Pon-Pes TBS kudus


Kilas Sejarah Pon-Pes TBS kudus

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam non formal yang tidak asing lagi di mata dunia pendidikan di Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang. Yaitu lembaga pendidikan pertama yang lahir di Indonesia yang di dirikan oleh Raden Rahmad (Sunan Ampel) pada masa itu
    
    Dalam kurun waktunya pondok pesantren tetap eksis dan selalu mengikuti perkembangan di dalam dunia pendidikan yang berkembang khususnya di Indonesia. Sehingga pondok pesantren mampu melahirkan santri-santri penerus bangsa yang tidak hanya mampu menguasai tentang ilmu agama saja akan tetapi juga ilmu-ilmu yang lain yang sudah diselaraskan dengan imtaq dan iptek.

    Demikian halnya dengan Pondok Pesantren “Tasywiquth Thullab” (TBS) Kudus yang terletak di desa Balaitengahan Langgardalem Kota Kudus ini. Pondok TBS merupakan salah satu cikal bakal pendidikan di wilayah kabupaten Kudus, yang didirikan pada tahun 1920 M oleh para ulama’ Kudus.
   
 Asal mula berdirinya pon-pes TBS adalah ketika warga masyarakat sekitar mengaji kepada Kiai Ahmad Abdul Latif di rumah kediaman beliau.  lama kelamaan santri yang mengaji bertambah banyak. Maka Kiai Ahmad berinisiatif mendirikan pesantren sebagai tempat mengaji sekaligus tempat mukim para santri.
 
Setelah Kiai Ahmad wafat, pesantren diasuh oleh putra beliau yaitu  KH. Ma’mun Ahmad dari tahun 1960 -2003. Di tangan kiai Ma’mun inilah pesantren tumbuh menjadi pesantren yang mendapat kepercayaan dari masyarakat.

 Pada masa kepemimpinan Kiai Ma’mun ini pula Pesantrn TBS dikembangkan menjadi lembaga formal yakni Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah(TBS). inisiator pendirian madrsah yang kini menjadi salah satu madrasah besar di kudus adalah KH. Abdul Djalil,keponakan Kiai Ma’mun. namun seiring dengan berjalannya waktu,pengelolaan Pesantren TBS dan Madrasah TBS kini dipisah.

Dan kini KH.Taufiqurrohman dibantu adiknya Kiai Dzi Taufiqillah dalam mengasuh santrinya yang semuanya siswa madrasah TBS.

       Meski santrinya merangkap sekolah di bangku pendidikan formal,pesantren ini masih eksih dengan sistem peninggalan pendirinnya,yakni menggunakan sistem salafiyah dengan metode sorogan,bandongan,serta mudzakaroh.  

Spesifikasi yang ditonjolkan adlah ilmu alat (nahwu dan shorof), tetapi selain itu dijarkan pula kitab -kitab salaf dalam berbagai disiplin ilmu, yang dilak sanakan setiap ba’da shalat maktubah lima waktu .

 Pesantren ini sudah banyak menelorkan alumni. Di antara mereka ada yang melanjutkan ke pesantren lain dan ada pula yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Senin, 17 Februari 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA


Abstrak
  Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia.Perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama astronomi.  Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.

Pendahuluan

Dalam makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang mengulasnya secara memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia.

Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya. Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak  Nusantara.

Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut. Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara momentum-momentum itu yang penulis anggap signifikan untuk diungkap antara lain:
1.Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan, 
2.KH Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah dengan pemerintah dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut,  
3.Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun 1995,
4.Yang paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009 lalu; Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.
5. Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.

Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.



Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia

Pembahasan tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana.  Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang sejarah perkembangan awal ilmu Falak di Indonesia secara keilmuan masih belum diungkap secara memadai.

Pembicaraan tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung.
 Pada tahun1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar.
Penanggalan Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh. Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).

Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara

Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya

Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.

Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh  Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. 

Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20.
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29).

Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi. 

Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan)  dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.

Sementara tokoh Falak  yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, danNatijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari, 2007: 10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).

2. Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.
Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya  pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik  bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki,  dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho,  2008: 29).

Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan  al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.

3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi

Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia  lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau

Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H .

Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3)Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H)

Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah, Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.

Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’  LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.
Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari system Newcomb.

Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: Taufik.  Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37).

Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004 (Khazin, 2008: 37).

Klasifikasi Metode Falak

Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī,  kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab
Ңaqīqī bi at-Tahqīqī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi.

Dalam sistem  hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar,  Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8)
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006).

Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu  daur .  Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahunKabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.

Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 ) penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik:
1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 
3. dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair: 
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانهTiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[3];
4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 
5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);  
6. panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).
7. perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.

Sistem kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:                                        
1. Umur Bulan
Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut (Azhari,  2004,  30-31)

Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu .
2. Permulaan Hari
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189
Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan  sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. 

Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan  hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan  hari  dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).

3. New Month (Bulan Baru)
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.

Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.

Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99). Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunsetmenyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109).

Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.

Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. 
4. Hilal
Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.

Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya  adalah tanggal satu bulan yang baru. 

Berdasarkan klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus. Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan. 

Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain  kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang. 

Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode  hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal. 

Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia
Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14).

Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan  awal bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari, 1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga Hisab dan Rukyat.

Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Adapun diktumnya sebagai berikut:
1. Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
2. Tugas Badan Hisab dan Rukyat  yang termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran kepada Mentri Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah.
3. Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members).
4. Anggota-anggota tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu tertentu menurut keperluan.
5. Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam.
6. Badan Hisab dan Rukyat   tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur Peradilan Agama.
7. Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang berlaku.
8. Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut dibebankan kepada anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun berikutnya  mata anggaran yang selaras untuk itu.
9. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat  Departemen Agama sebagai berikut:
Sa’adoeddin Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA, Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur, Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso, Jakarta, Rodi Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta,  Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta.
Adapun anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.

Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama  awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis.

Kehadiran  Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.

Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagalan.

Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia
Ada beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen ini dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEv5wNmR09YvuTd1_go3bkCbsdyqWWqYuM0swKZFBt4QVlMP8ZSz9SZNRAFftS0vWIq_ppqNI8V-Jm9YQpwHnA2EcK7jeLIgfl28TNTpFJxOAXQMKXYKlJy1cXlnJsGyG34o1a6cQaoUSL/s1600/ahmad_dahlan.jpg
KH Ahmad Dahlan

1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan.
Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalahMuhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 H.

Ia adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara .

Ia lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat .

Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui  K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan dicatat sebagai pelopor pembetulan  arah kiblat dari semua surau dan masjid di Nusantara.

Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDrgYpV1M9PDyRXPCd28aCvw9K6DD8vXdHaW6cu41cTnZ7bVLdxYaiodN0t6RJIMVyVsdB-UVXvLJWj6D6gUuI_1GeOVY8fkBb33C0zuOjWfiPE0WTYltWcBtB9kvbrX9tCqiyjybT1xl5/s1600/Yi+Turaichan+Adjhuri+asy-Syarofi.jpg
KH Turaichan Adjhuri

2. KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut.

Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji danmuthola’ah Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya)

Mbah Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan almanak yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan sampai ke penjuru tanah air, Perhitungan itu umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa .

Turaikhan disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat dan mendirikan salat gerhana.
  Kisah Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitabal-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya

Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia diangkat sebagai  anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI.
3.Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik
Secara akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu Falak keluar dari Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting untuk menjadi salah satu ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab rukyat yang komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir (Azhari, 1990: 20).

Kini telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru setingkat konsentrasi  dibuka pada tahun 2008.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya interaksi yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan perkembangan ilmu falak pada masa-masa yang akan datang.

4.Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.

Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazettemelaporkan, orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu
Wartawan BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya.

Jika memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat . Masalah yang penting selanjutnya setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung. Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita.

Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang sebenarnya
5.  Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.

Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  dalamMajalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya. Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang seharusnya (Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh:  Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”,

Setelah penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh umat Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang, mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh yang mereka gunakan selama ini.
Mereka membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan juga di internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini. Tanggapan yang sebagiannya alih-alih memberikan pencerahan terhadap masyarakat malah justru membuat mereka bertambah bingung.
Dalam menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid mengambil jalan tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada (jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh dimundurkan waktunya dari biasanya.
Yang lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam pengumandangan azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di saat masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah.
Namun mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini tentang penentuan awal waktu salat Subuh sampai terwujudnya kesepatan para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.
Catatan Akhir 
Berikut ini beberapa catatan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia:
1.      Kajian Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah
Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.
Teori-teori lama yang sudah out of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.
Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.
Setelah Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi.
Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini. Misalnya menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa Perhitungan kitabSullam an-Nayyirain ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi eksistensinya masih diakui oleh Departemen Agama. Karena hasil perhitungannya masih digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk memahami permasalahan  ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirainini[4]. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah  hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.

2.      Prolematika Pengklasifikasian Metode Hisab
Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola pemikiran (paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan:
a.  Nama aliran yang digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain urfi, hisab hakiki, hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi.
b.  Masalah lain yang timbul dari pengklasifikasian tersebut adalah perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul penilaian yang beragam terhadap masing-masing aliran, ( misalnya tingkat keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan tingkat akurasinya rendah,  2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi.

Perlu juga kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge (latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan penyejajaran ataupun  hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer.